Wajah Abyan berubah pucat, jantungnya berdetak lebih cepat saat melihat sang istri tidak sadarkan diri. Perutnya terasa sedikit mual dan kepalanya pun ikut pening. Belum lagi keringat yang mulai membanjiri tubuhnya padahal ruangan tersebut ber-AC. Dia ingin menyentuh wajah Ayyara yang berdarah itu, tapi khawatir salah bertindak.
Dengan tangan gemetar, Abyan yang berada pada posisi berlutut mengulurkan jari telunjuknya ke arah hidung Ayyara. Kemudian, lelaki itu pun memegang pergelangan tangan sang istri untuk mengecek denyut nadinya.
Abyan menghela napas. “Alhamdulillah,” ucapnya lirih lalu dia bangkit dari posisi berlututnya dan menoleh ke samping.
“Lidya, kok, malah bengong?” tegurnya pada wanita yang jadi pemicu pertikaian tadi. “Gara-gara kamu, sih! Sembarangan bukain pintu,” tuduhnya sembari bergegas menyambar kemeja yang tersampir di sandaran kursi tak juah dari tempatnya berdiri.
Cepat-cepat dia kenakan kemeja tersebut. Kemudian, dia kembali berlutut di samping tubuh istrinya.
“Lho, kok, nyalahin aku?” protes Lidya tak terima.
“Iya, memang! Harusnya kamu intip dulu siapa yang datang, bukan main buka begitu saja,” gerutu Abyan.
“Iih, apa, sih, Mas?” Lidya masih menyangkal, dia langsung cemberut.
“Lagian, kata aku juga diam di kamar kamu saja dulu! Ini maksa-maksa pengin masuk ke sini padahal udah jelas aku mau tidur,” omel Abyan yang sekarang tengah menepuk-nepuk bahu Ayyara sembari memanggil namanya.
Dia berharap istrinya akan segera sadarkan diri, tapi ternyata usahanya belum berhasil.
“Kok, malah nyalah-nyalahin aku gini?” Lidya kian keki.
“Sudah, sudah … sekarang, tolong kamu siapain tas tangan aku! Jangan lupa, HP sama dompet masukin juga ke dalam tasnya. Itu, sekalian juga kunci mobil … sini, kasih ke aku!” Abyan memberondong perintah pada wanita itu.
Sambil bersungut-sungut Lidya mengikuti perintah Abyan. “Terus, aku gimana?” tanyanya lagi.
Abyan menoleh. “Kamu bawain tas akulah, ikutin sampai parkiran. Entar, kalau aku sudah berangkat ke rumah sakit, kamu balik ke kamarmu saja!” titahnya sembari membopong istrinya keluar dari kamar.
Lelaki itu berjalan dengan cepat hingga Lidya harus berlari kecil untuk mengimbangi langkahnya. Wanita ini bak pegawai yang sedang mengikuti majikannya, dengan sigap membantu menekan tombol lift. Beruntungnya suasana di sana masih sama seperti ketika Ayyara datang tadi.
“Nanti kalau ditanya-tanya pas kita lewat lobi, kamu pura-pura nggak kenal aku. Bilang saja, nggak sengaja lihat aku terus perlu pertolongan, makanya kamu bantu. Yang lainnya, biar jadi urusanku,” tegas Abyan sesaat sebelum pintu lift terbuka.
Benar saja, ketika melewati lobi suasananya cukup ramai karena banyak tamu yang baru check in. Abyan berusaha melipir menghindari keramaian itu. Hanya seorang satpam sekaligus sebagai doorman yang saat itu berhasil mencegatnya.
“Ada apa, Pak?” tanyanya begitu melihat Abyan terburu-buru keluar dari lift sambil membopong istrinya.
“Saya mau bawa istri saya ke RSUD, Pak. Tadi, nggak sengaja dia jatuh keserimpet di kamar dan pingsan.”
Satpam itupun dengan sigap membantu Abyan sampai ke tempat parkir tanpa banyak bertanya. Mungkin saat datang tadi, dia bisa menilai sosok Abyan seperti apa dari penampilannya. Jadi, dirinya tidak menaruh curiga pada lelaki ini.
Sementara itu, Lidya mengikutinya dari belakang. Sesampainya di parkiran, satpam membantu membuka pintu belakang mobilnya.
“Terima kasih banyak, Pak!” ucapnya pada satpam itu. Dia pun dengan hati-hati membaringkan Ayyara di jok belakang.
“Terima kasih atas pertolongannya, Mbak,” ucap Abyan saat Lidya menyerahkan tes tangannya.
Keduanya benar-benar saling tak acuh. Abyan langsung melajukan mobilnya menuju RSUD. Sedangkan Lidya kembali ke kamarnya sesuai intruksi tadi.
Setelah memperoleh pertolongan dan menunggumu cukup lama, akhirnya dokter memberikan penjelasan. Dari hasil pemeriksaan tersebut, dokter menyatakan bahwa Ayyara mengalami gegar otak cukup berat. Istri Abyan ini harus melewati tahap observasi untuk melihat perkembangan selanjutnya.
Abyan mondar-mandir di depan ruang IGD sembari sesekali mengacak kasar rambut gondrongnya. Dia juga berulang kali meremas-remas jemari, keningnya pun ikut mengeluarkan keringat dingin.
Lelaki itu baru teringat pada anak-anaknya ketika mendapat telpon dari pihak sekolah. Mereka mengatakan sudah berulang kali menelpon Ayyara, tapi tidak diangkat. Jadi, sampai saat ini, anak-anaknya belum ada yang menjemput.
Abyan pun langsung menelpon sang adik ipar dan memberitahukan kejadian tersebut, sekaligus meminta pertolongannya mengurus kebutuhan sang buah hati.
Setelah 24 jam di IGD, Ayyara masih mengalami muntah-muntah dan perlu pemberian oksigen. Meskipun demikian, dia sudah bisa masuk ke ruang perawatan. Sore itu, hanya Abyan yang berada di ruangan. Melihat istrinya masih terpejam dengan balutan perban di kepala dan juga jahitan di pelipis kanan membuat hatinya sesak.
“Maafkan aku, Ay … aku menyesal semua ini terjadi,” ucap Abyan dengan suara lirih di samping telinga Ayyara.
Saat Abyan berbisik itulah, pintu ruangan terbuka.
“Mas, gimana keadaan Teh Ayya?” tanya seorang perempuan kisaran usia dua puluhan awal.
Abyan menegakkan tubuhnya. “Hai, Git. Sendirian?” sapanya. “Alhamdulillah, kondisi Ayya sudah lebih baik.”
“Syukur, deh. Aku khawatir banget pas dengar berita kalau Teh Ayya jatuh. Kok, bisa, sih? Memang, gimana ceritanya sampai kayak gitu?” Gita memberondong pertanyaan.
Abyan belum sempat menjawab karena Ayyara keburu membuka mata.
“Hai, Sayang! Alhamdulillah, akhirnya kamu bangun,” ucap Abyan lembut.
Tapi, ternyata reaksi Ayyara di luar dugaan. Dia malah memalingkan wajahnya saat Abyan menyapa. Hal ini sontak saja membuat Gita heran, lalu dia mendekat ke samping tempat tidur di sisi yang berseberangan dengan lelaki itu.
Ayyara yang melihat adiknya datang langsung semringah. Kemudian dia mengatakan sesuatu, tapi karena pelan dan terhalang masker oksigen suaranya jadi kurang jelas. Gita pun berinisiatif mendekatkan telinganya ke arah mulut Ayyara.
“Tolong, suruh Mas Aby keluar dari sini! Aku nggak mau melihatnya.”
Gita langsung mendelikkan mata ke arah Abyan dengan kening berkerut. Meskipun belum memahami situasi yang terjadi, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti keinginan kakak sulungnya itu.
“Aku nggak tahu apa yang terjadi dengan kalian. Tapi, maafkan aku, Mas Aby … Teh Ayya minta Mas keluar ruangan dulu!” ucap Gita setelah menegakkan kembali posisi tubuhnya.
Abyan menghela napas sembari menatap istrinya, lalu dia menundukkan kepala dan melangkah gontai keluar dari ruangan. Seiring dengan itu, bulir bening dari sudut mata Ayyara mulai menetes satu persatu. Gita yang melihat itu semakin heran.
“Ya, Allah … Teh Ayya, kenapa? Ada apa sebenarnya?”
Mendapat pertanyaan seperti itu malah membuat tangisnya pecah. Terang saja, hal ini semakin membuat Gita bingung, apalagi kakaknya itu sampai sesenggukan bahkan dia melepaskan masker oksigen.
Gita membiarkan Ayyara untuk menumpahkan semua ganjalan dalam hatinya hingga puas. Setelah beberapa saat, perempuan ini terlihat lebih tenang.
“Git, kali ini, kayaknya aku dengan Mas Aby benar-benar selesai.” ucapnya tiba-tiba.
Gita yang sedang menenggak botol mineralnya nyaris tersedak. “Maksud Teh Ayya, apa?”
“Udah berulang kali Mas Aby melakukan kesalahan dan menurutku, kali ini yang paling parah. Rasanya, aku nggak sanggup lagi,” ucap Ayyara dengan suara bergetar. Dia berusaha menahan tangisnya agar tidak kembali pecah.
“Astagfirullah, Teteh … nggak baik bicara sembarangan!”
Ayyara seakan tak mendengar ucapan adiknya. “Aku mau cerai saja!”
#IndonesianWritersZone
#PandoraIWZXRedaksiku2024
#SenjaMembawamuKembali
Dibaca: 283
Follow WhatsApp Channel www.redaksiku.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow