Suara ingar bingar musik seketika menyergap pendengaran saat pintu dibuka. Johan menggandeng tanganku, melewati dua orang pria berbadan kekar yang lebih mirip petugas keamanan daripada sekadar penjaga pintu biasa. Keduanya mengangguk takzim pada Johan.
Setelah melewati lorong yang hanya diterangi lampu remang-remang, aku dan Johan tiba di ruang terbuka. Lautan manusia berbaur di tengah ruangan, menari dengan bebas diiringi dentaman musik yang dipilih seorang DJ dari mejanya di lantai dua.
Sinar lampu berwarna merah, ungu, dan kehijauan berpendar bergantian menyinari ruangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ayo!” Johan menarik tanganku, menyusuri hampir setengah ruangan, melewati meja bar, lalu sederetan sofa dengan bentuk melengkung dan meja di tengah- tengahnya. Suara riuh rendah percakapan dan tawa orang-orang di setiap sofa yang kulewati sepertinya berusaha mengalahkan suara musik yang keras.
“Hei, Johan!” Suara seseorang memanggil dan melambai dari salah satu meja.
“Hei, ini dia.” Johan menoleh padaku. “Alina.” Dia menunjukku, lalu menunjuk teman-temannya yang duduk di sofa. “Rudy. Mia. Alex. Inge.”
Aku tersenyum dengan canggung. Inge dan Alex bergeser ke tengah sofa, memberi tempat padaku dan Johan.
“Nggak turun?” tanya Johan.
“Mau,” jawab Rudy, lalu bangkit dari duduknya. Mia mengikutinya.
Johan menuangkan minuman ke dalam dua gelas yang masih kosong. Dia memberikan salah satunya padaku, menyesap minuman dari gelasnya sendiri, lalu berpaling pada Alex dan mengajaknya bercakap-cakap, sementara Inge terlihat sibuk dengan ponsel di tangannya.
Aku menatap gelas di tanganku, lalu melihat ke tengah ruangan. Sesekali aku melihat Rudy dan Mia di antara orang-orang lainnya, menggerakkan tubuh mereka mengikuti irama lagu yang berganti-ganti. Perasaan sepi mendadak menyergapku.
Tiba-tiba aku merasa, tempatku bukan di sini.
“Di mana toilet?” tanyaku pada Johan.
Lelaki itu menunjuk ke satu arah. Aku meletakkan gelas di meja lalu keluar dari sofa, berjalan ke arah yang tadi ditunjukkan Johan.
Toilet itu sepi. Aku berdiri saja di depan cermin, menatap bayangan wajahku yang pucat tanpa riasan, sambil menimbang-nimbang apa yang akan kulakukan. Ini pertama kalinya aku ke diskotek, karena Johan yang mengajak, setelah berkali-kali kutolak. Kupikir tak ada salahnya menghibur diri sendiri setelah patah hati, karena tanpa alasan Kris memutuskan hubungan denganku. Ini juga pertama kalinya aku keluar dengan Johan yang rumah kosnya berhadapan dengan rumah kosku. Aku belum terlalu akrab dengannya, tapi mungkin aku bisa mulai membuka hati.
Tapi, sepertinya diskotek bukan tempat yang tepat untukku.
Aku keluar dari toilet, kembali ke sofa untuk mengajak Johan pulang. Jika dia tidak mau, aku akan pulang sendiri dengan taksi. Di sofa, kulihat Johan duduk sendirian.
Alex dan Inge mungkin sudah turun melantai mengikuti Rudy dan Mia.
“Jo, aku mau pulang sekarang,” kataku.
“Kenapa?” tanyanya. Dia menggeser duduknya lebih dekat, lalu sebelah tangannya melingkari bahuku.
“Aku … nggak suka di sini.”
Johan diam sejenak, lalu mengambil gelas di meja dan memberikannya padaku.
“Kamu belum minum. Minumlah sedikit, lalu kita pulang.”
Aku menyesap minuman itu. Bau harum menguar dari gelas. Rasanya kuat dan manis, dan sedikit pekat. Setelah beberapa teguk, aku mengembalikan gelas itu ke meja.
“Gimana? Mau pulang sekarang?” tanya Johan.
Aku mengangguk. “Nggak apa-apa, kan?”
Johan tersenyum. Tangannya yang melingkari bahuku kini mengusap punggungku.
“Nggak apa-apa.”
Sebetulnya aku merasa risih dengan perlakuan Johan, tapi aku diam saja. Kurasa, ini pertama kali sekaligus untuk terakhir kali aku pergi dengannnya.
Aku bangkit, dan mendadak kurasakan bumi seakan bergoyang. Aku mengerjapkan mata, tapi yang ada pandanganku kabur dan kepalaku pening. Aku nyaris terduduk kembali di sofa ketika tangan Johan bergegas menopangku. “Aku … pusing,” kataku.
Perasaanku seakan melayang-layang, dan kusadari tangan Johan yang semakin erat memelukku. Aku merasakan embusan napasnya di telingaku saat dia berbisik,
“Malam ini kita akan bersenang-senang, Sayang.”
***
Tentang Penulis
Eunike Hanny, tinggal di Tangerang Selatan. Tulisan yang sudah terbit antara lain, Saat Gota Tersesat (cerita anak, bisa dibaca di Gramedia Digital), Klub Bunuh Diri (Bukuditeras), A Prenup Letter (bisa dibaca di iPusnas), dan skenario film pendek untuk layanan streaming. Penulis bisa dihubungi di IG @hanny1806 / FB Eunike Hanny.