Napasku tersenggal-senggal. Keringat sebesar biji jagung berjatuhan dari pelipisku. Di depan hanya ada pepohonan dengan akar-akan yang besar. Bayangan hitam nampak terlihat sekilas, berlari dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Aku tak bisa melihat sosok itu dengan jelas karena kabut yang pekat ini. Tiba-tiba semuanya menjadi sunyi. Suara-suara serangga tidak lagi terdengar berisik seperti sebelumnya. Hal itu membuat ku sedikit lebih tenang.
Hingga saat tiba-tiba kurasakan kakiku digenggam oleh sesuatu. Kukunya panjang dan tajam menusuk tepat di mata kakiku. Aku menunduk tetapi tak melihat apapun karena pandanganku menjadi memburam. Hanya sekelebat tangan yang kurus dan kehitaman seperti dagingnya sudah membusuk, menarik kaki kananku hingga aku terjatuh. “Nduk, baleni, nduk.” Suara lembut itu terdengar dari arah belakangku. Bahkan sangat terasa sekali helaan napasnya menyentuh belakang telingaku.
Mulutku seolah beku. Aku bahkan tak mampu menoleh untuk melihat sosok itu. “Nduk, Sarasvati!” Suara itu terdengar sangat melengking.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aku terbangun dengan napas tersenggal-senggal. Rambutku sudah basah dengan keringat. Sudah pukul 6 pagi. Semua kejadian dalam mimpi itu rasanya seperti nyata. Bahkan aroma pepohonan masih kucium dengan sangat jelas. Aku memijat keningku dengan perlahan.
“Sudah bangun?” Suara itu membuatku sedikit berjengit. Aku menoleh dan menemukan bude yang menyapaku sembari memasuki kamar untuk membukan gorden. Seketika cahaya matahari dan aroma debu langsung menyeruak. “Tidurnya gimana? Nyenyak? Pasti capek kan, 8 jam perjalanan.”
Aku mengangguk sambil duduk di pinggir ranjang. “Capek banget, Bude. Sampe mimpi buruk,” keluhku. Bude hanya terkekeh mendengarnya. Aku mengekori bude yang berjalan menuju dapur. Ternyata bude sudah menyiapkan aneka masakan untukku.
“Nanti malam, tinggal goreng lagi aja udangnya. Bude sudah siapkan semuanya di kulkas. Bude tinggal dulu ya, mau dinas,” ucap bude. Aku mengangguk dan menyantap makanan di hadapanku.
Setelah bude pergi, kembali yang tersisa disini hanyalah sunyi. Aku sangat terbiasa dengan suasana seperti ini semenjak keluargaku berantakan. Sebelumnya sama sekali tak pernah terpikirkan olehku akan kembali ke rumah yang pengap ini. Terakhir kali mungkin sekitar 9 tahun yang lalu. Masih teringat di ingatanku bagaimana wajah tanpa ekspresi ayah saat kami meninggalkan rumah ini. Tangisan ibu masish berputar di kepala, menyesakkan dada. Juga teriakan kakak memaki ayah sambil menggenggam tanganku yang kala itu belum terlalu mengerti semuanya.
Aku mencoba membereskan rumah masa kecilku ini yang sudah benar-benar tidak terurus. Semenjak ayah meninggal dua tahun silam, rumah ini dibiarkan kosong. Sesekali bude dan pakde membersihkannya. Meskipun semua jendela sudah kubuka, entah kenapa atmosfer rumah ini berbeda. Udaranya terasa lebih pekat dan pengap. Di ruang tamu masih terpajang foto keluarga kami. Sudah sangat lusuh dan berdebu. Terkadang aku merindukan saat-saat dulu. Tetapi mengingat bagaimana ayah meninggalkan kami dan membuat ibu berjuang seorang diri dan pada akhirnya meninggal karena depresi, membuat aku sangat muak membicarakan semua tentang ayah. Kalau bukan karena harus kuliah, aku pun tidak sudi tinggal di rumah ini lagi.
Suara ponselku terdengar dengan sedikit menggema. Itu adalah telepon dari bude. “Halo, Bude,” ucapku menyapa.
“Ras, bude lupa kunci gerbang tadi. Tolong kamu kunci ya. Inget pesen bude, jangan terlalu sering keluar rumah. Tetangga-tetangga disitu omongannya nggak baik,” ucap bude mengingatkan.
“Iya, bude. Ini Saras mau kunci kok.” Aku langsung berjalan menuju depan. Di ruang tengah banyak terpajang lukisan-lukisan milik ayah yang berukuran cukup besar. Beberapa lemari tua juga turut menghiasi ruangan ini. Setelah mengunci gerbang. Aku memilih untuk mulai membersihkan ruang tamu. Kuputar lagu-lagu korea dari handphoneku untuk memecah keheningan. Saat sedang menyapu di bagian ruang tengah, aku merasa ada seseorang yang sedang menatapku. Dengan refleks aku menoleh dan tak menemukan apapun. Aku kembali melanjutkan menyapu sembari ikut bernyanyi lagu yang sedang kuputar.
Samar-samar aku seperti mendengar alunan gamelan. Pun suara-suara kegaduhan lain seolah-olah sedang ada pertunjukan tarian. Bulu kudukku merinding dengan tiba-tiba. Rumah ini cukup jauh dari tetangga. Halamannya juga luas dengan pagar tunggi yang mengelilingi rumah. Jadi sangat tidak mungkin suara itu berasal dari rumah tetangga. Aku buru-buru berjalan menuju ruang tamu dan mematikan lagu yang mengalun dari sana. Tetapi suara-suara itu juga menghilang.
Aku berlari masuk menuju ke kamarku. Tidak apa-apa, aku pasti hanya salah dengar. Mungkin aku terlalu lelah di perjalanan sehingga halusinasi.
Sudah hampir seminggu aku tinggal di rumah ini. Rumah yang penuh dengan barang-barang kuno peninggalan ayah. Sesekali aku masih sering merasa ada yang memperhatikanku. Terlebih saat aku di ruang tengah. Terkadang aku mendengar suara-suara dari arah sana di tengah malam, namun aku tak menemukan apapun. Hampir setiap malam aku memimpikan hal yang sama. Hutan-hutan lebat dengan suara perempuan yang menyuruhku untuk mengembalikan sesuatu yang aku tidak tahu apakah itu.
“Bude, nanti temenku mau nginep disini boleh gak? Kami mau ngerjain laporan praktikun,” ucapku meminta izin kepada bude.
Di hadapanku bude sibuk memasak. “Boleh dong, kan ini rumah kamu. Kok izinnya sama bude,” jawabnya sambil terkekeh. Itu memang benar sih, tetapi tidak etis rasanya jika aku belum meminta izin pada bude. Ayah hanya memiliki satu saudara yaitu bude. Untung saja bude sangat baik hati. Tak seperti ayah yang sikapnya tak bisa ditoleransi lagi.
Malam ini bude pulang lebih awal karena bisnisnya sedang memiliki masalah. Aku tak keberatan karena bude selalu menyempatkan diri untuk menengokku yang sendirian ini. Besok Indri akan menginap disini. Rasanya seolah ada kelegaan bahwa aku tidak akan melewati malam yang sunyi dan sedikit menyeramkan seperti biasanya karena kali ini aku punya teman.
Mataku terasa berat. Tapi malam ini, dingin seolah menusuk kulit. Aku memeluk bantal dan memposisikannya mentup telingaku sambil tidur menyamping. Peralahan aku sudah terlelap saat tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tanganku. Itu terasa seperti telapak kaki bayi. Kaki itu seolah berjalan perlahan menyusuri lenganku. Dengan cepat aku terduduk dan tak menemukan apapun. Padahal aku sangat yakin bahwa tadi itu bukanlah imajinasiku saja.
**
Tengah malam aku terbangun saat mendengar suara air galon. Aku beranjak dari kamar dan menuju dapur dengan waspada dan jantung yang berdegup kencang. Kulihat sesosok yang sedang berdiri membelakangiku di arah dapur. Tiba-tiba aku teringat bahwa malam ini Indri menginap. Ya ampun, hampir saja aku berteriak ketakutan.
“Dri, ngagetin aja. Idupin aja kali, lampunya. Oh ya, mumpung kebangun, sholat malem yuk. Aku ambil wudhu dulu ya. Kita sholat di kamar sebelah,” ajakku sambil mengikat rambut. Setelah wudhu, Indri masih berdiri di tempat semula. Aku tak mempedulikan itu karena Indri memang bercerita bahwa ia sering terbangun tengah malam. Aku memakai mukenahku dan merapikan dua sejadah. Kamar ini sebelumnya adalah kamar kakakku. Tapi ranjangnya sudah rusak dan dialihkan ke gudang sehingga ruangan ini kujadikan tempat untuk sholat dan menaruh barang-barang.
Baca Juga: Indonesia Kuda Hitam di piala dunia U17
Saat Indri sudah siap, aku langsung memposisikan diri sebagai imam. “Assalamualaikum warahmatullah.” Aku menoleh kiri. Indri mengikuti dengan suara yang sangat pelan dan lirih. Tepat di sana terdapat meja rias kakak sehingga aku dapat melihat pantulan diriku di cermin. Aku terkejut saat melihat di cermin hanya ada diriku seorang diri. Buru-buru aku menoleh kebelakang dan tak menemukan siapapun.
Aku langsung bangkit dari dudukku dan menuju ke kamar. Kulihat Indri masih tertidur dengan lelap. “Nduk, kok kaget? Kan sudah biasa,” suara serak itu kembali terdengar. Aku hanya bisa mematung saat kurasakan kuku-kuku tajam menyentuh wajahku. Bahkan dapat kurasakan darah yang mengalir di pipiku akibat cakaran itu.
“S-siapa k-kamu!” seruku tertahan.
Sosok itu tertawa melengking. Akhirnya aku dapat melihatnya dengan jelas. Sosok perempuan dengan kulit membusuk dengan pakaian tari tradisional. Rambutnya disanggul dengan begitu rapi. Ia berjalan mendekatiku. Hiasan-hiasan di pergelangan tangan dan kakinya terdengar seperti lonceng. Aku berteriak ketakutan. Sosok itu tersenyum sebelum akhirnya menghilang.
Indri terbangun dan menatapku penuh tanya. Aku yang sudah lemas, menjadi kesulitan berbicara. “Minum dulu, Ras. Ceritakan pelan-pelan,” ucap Indri khawatir.
“Ndri, apa kamu tadi bangun dan sholat malam bersamaku?” tanyaku memastikan.
Indri mengernyit dan menggelengkan kepalanya. Mendengar itu. air mataku berjatuhan. Aku sudah tidak sanggup lagi menahan semua ketakutan yang selama ini ku pendam sendirian. Aku pun menceritakan semuanya kepada Indri sejak awal yang terjadi di rumah ini.
“Ras, aku sudah tahu. Aku bisa melihat apa yang tidak bisa orang pada umumnya lihat. Sejujurnya awal aku mengajak kamu berteman adalah karena kulihat sosok penari gandrung yang menempelimu,” jawab Indri dengan serius.
Mendengar itu, aku seperti meliihat oase di tengah gurun. “Terus aku harus gimana, Ndri?” tanyaku. Indri tampak berpikir.
“Sepertinya dia mau kamu mau mengembalikan sesuatuuuuu. Biasanya berhubungan dengan ritual dalam tari gandrung,” ucap Indri.
“Tapi benda apa?” tanyaku karena benar-benar tidak tahu. Akhirnya kami berdua sibuk mencari di lemari yang penuh dengan koleksi ayah. Tidak ada sesuatu yang bisa ditemukan. Aku justru menemukan buku diary milik ibu. Meskipun kertasnya sudah lusuh, namun masih ada beberapa bagian yang bisa dibaca.
13 Juni 1996,
Aku sudah tidak kuat. Pagi ini kulihat bekas tangan yang melingkari leher Sinta. Ia menangis sambil berteriak kesakitan akan bekas itu yang memerah. Aku hendak membawanya ke dokter, tetapi mas Fadlan melarang. Sikapnya berubah. Ia justru membentakku yang hanya ingin menyelamatkan anak kami.
21 Desember 2001,
Anak keduaku lahir. Di umurnya yang seminggu, aku harus menyaksikannya penuh lebam. Tidak ada satupun dokter yang tahu akan penyebab pastinya.
29 Agustus 20xx,
Aku sudah memutuskan untuk bercerai. Akan kubawa anak-anak bersamaku. Mas Fadlan sudah gila. Dia tak waras. Beraninya dia menumbalkan anak kami demi kekayaan. Karena topeng sialan itu, aku di-
Kertas itu dirobek sehingga aku tak bisa membaca kelanjutannya. Tanganku sudah bergetar hebat. Ayah menumbalkan anak-anaknya sendiri? Aku cukup banyak mendengar bahwa ada beberapa manusia yang bersukutu dengan jin untuk mendapatkan tahta, kekayaan, dan lain sebagainya. Tetapi aku tak pernah tahu jika ayah tega melakukan ini pada kami.
Baca Juga: CERPEN: Kembar Identik
Pantas saja semua lukisan dan patung yang ayah buat terasa begitu magis. Aku langsung mengambil lukisan-lukisan itu dan melemparnya. Air mataku berderai, aku merobeknya dengan pisau. “Ras, tenangkan dirimuu. Istighfar, Ras!” teriak Indri. Tetapi aku sudah kalap. Aku mengenggam beberapa patung pahatan itu dan memukul-mukulkannya ke lantai.
“Di mana topeng itu!” teriakku sambil membuka semua laci yang ada di rumah ini. Tapi kami berdua sama sekali tak menemukannya. Aku justru menemukan catatan kecil milik ayah yang terselip di album foto keluarga kami.
‘Nduk, anakku. Hati-hatilah dengan Laksmi. Kembalikan topeng itu ke bagian paling timur pulau Jawa.’
Ini tulisan ayah. Entah apa lagi rencananya kali ini mengasutku untuk membenci bude. Aku merobek kertas itu dengan amarah yang menyala. “Ras, ini ruangan apa? Cuma ruangan ini yang belum kita lihat,” ucap Indri.
“Itu gudang. Sebentar, aku ambil kuncinya.”
“Sarasvati! Apa yang kamu lakukan!” aku menoleh dan melihat bude yang terlihat marah. Aku belum pernah melihatnya seperti itu. Indri merampas kunci gudang dari tanganku. Bude terlihat marah dan mencoba melempar patung ke arah Indri yang berusaha membuka gudang. “Anak sialan! Menjauh dari sana.”
“Tahan dia, Ras!”
Otakku rasanya membeku sesaat. Apa maksud semua ini? Mana yang harus kupercaya? Bude semakin tak terkendali. Aku menahan bude yang berlari menghampiri Indri. Bude memukulku dengan keras hingga kepalaku terasa sakit. Tak ku pedulikan darah yang menghalangi pengelihatanku. Aku meraih bingkai lukisan yang sudah patah dan memukulkannya pada kaki bude. Hal itu sukses membuat bude terjatuh. Indri kembali dengan membawa topeng berwarna merah yang menyeramkan itu sembali memopongku keluuar dengan tergesa-gesa.
Para tetangga yang melihat kami berdarah langsung berkuumpul. Mungkin mereka penasaran dengan apa yang terjadi di pagi buta. “Bapak, tolong kami. Orang itu mencekai ponakannya sendiri,” ucap Indri menunjuk bude yang terlihat terkejut karena ada banyak orang diluar. Aku tak mampu menahan tubuhku dan jatuh tak sadarkan diri.
**
Semuanya sudah kembali pulih sekarang. Aku sudah tak lagi tinggal di rumah itu dan memilih untuk tinggal di kontrakan kecil yang sederhana. Topeng itu sudah kami kembalikan, seminggu setelah aku rawat inap. Setelah dikembalikan, aku tidak lagi bermimpi buruk. Pak Hendra, tetanggaku menceritakan semua yang ia ketahui tentang keluuargaku. Buku diary milik ibu dan catatan yang ayah tinggalkan mendukung semuanya.
Ternyata bude menjadi dalang semua ini. Ia mengajak ayah melakukan ritual perjanjian dengan menyimpan topeng adat di sebuah museum dengan harga fantastis. Bude meyakini bahwa perjanjian itu membawa keluarga kami menuju kesejahteraan. Tetapi itu tidak gratis, ada harga yang harus dibayar. Diam-diam, bude melakukan ritual dengan darah ayah sehingga ayah yang harus menanggung semuanya. Ada nyawa yang harus dibayar untuk itu. Ayah meninggalkan ibu dan kami dengan harapan tumbal hanya berhenti pada ayah saja. Namun ibu juuga tak mengetahui hal itu dan meninggal dalam keadaan depresi kehilangan suami tercintanya.