Keberadaan imigran etnis Rohingya di perairan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, menjadi sorotan penting bagi aparat kepolisian.
Dalam konteks ini, Polda Aceh berhasil mengungkap jaringan penyelundupan yang memanfaatkan kerentanan para imigran.
Kasus ini mencerminkan permasalahan yang lebih besar mengenai perdagangan manusia yang masih marak terjadi di Indonesia, khususnya di wilayah yang menjadi jalur perlintasan imigran.
Awal Kedatangan Imigran Rohingya
Kronologi kasus ini bermula dari penemuan mayat perempuan di sekitar perairan Pelabuhan Labuhan Haji pada 17 Oktober.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kejadian tragis ini memicu laporan dari masyarakat mengenai sebuah kapal motor yang terlihat terombang-ambing di laut.
Setelah dilakukan penyelidikan, tim menemukan bahwa di kapal tersebut terdapat 150 imigran etnis Rohingya, dengan tiga di antaranya dinyatakan meninggal dunia.
Keberangkatan imigran tersebut diperkirakan terjadi antara 9 hingga 12 Oktober 2024, dengan tujuan dari Cox’s Bazar di Bangladesh ke Laut Andaman.
Para imigran ini berusaha melarikan diri dari situasi sulit yang mereka hadapi di negara asal mereka, di mana mereka sering kali menjadi korban kekerasan dan diskriminasi.
Dalam upaya mencari perlindungan, mereka nekat mengambil risiko untuk melintasi lautan meski menyadari bahaya yang mengancam.
Keberadaan mereka di perairan Aceh Selatan menambah deretan panjang tragedi kemanusiaan yang menyelimuti etnis Rohingya.
Polda Aceh Bongkar Adanya Tindak Pidana Perdagangan Orang
Setelah berlayar dari Laut Andaman, para imigran ini kemudian dilansir ke kapal nelayan KM Bintang Raseuki, yang diketahui dibeli oleh salah satu terduga pelaku dengan harga Rp 580 juta sebulan lalu.
Kombes. Pol. Ade Harianto, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Aceh, mengungkapkan bahwa kapal tersebut dimiliki oleh seorang warga Labuhan Haji berinisial H.
Dalam perjalanan menuju Aceh Selatan, awalnya ada 216 orang imigran yang terdaftar.
Namun, sebagian dari mereka berhasil melanjutkan perjalanan ke Pekanbaru, Riau, dengan biaya sebesar Rp 20 juta, di mana mereka baru membayar Rp 10 juta untuk ongkos perjalanan.
Informasi lebih lanjut menyebutkan bahwa imigran tersebut dipaksa membayar biaya keberangkatan yang tinggi kepada para penyelundup.
Biaya tersebut biasanya mencakup pengeluaran untuk perjalanan, tempat tinggal, dan perlindungan selama di perjalanan.
Namun, banyak dari mereka yang terpaksa berutang atau menjual aset berharga untuk memenuhi biaya tersebut, sehingga semakin memperburuk situasi ekonomi mereka.
Sementara itu, Kombes Pol. Joko Krisdiyanto, Kabid Humas Polda Aceh, menjelaskan bahwa tindakan ilegal ini merupakan bagian dari jaringan perdagangan manusia yang lebih luas.
“Tindakan ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga melanggar hak asasi manusia. Kami berkomitmen untuk menindak tegas para pelaku penyelundupan,” ujarnya, dikutip pada Jumat, 25 Oktober 2024.
Keberhasilan polisi dalam mengungkap kasus ini menunjukkan keseriusan aparat dalam menangani masalah yang kian kompleks ini.
Penetapan Tersangka
Tindakan ilegal ini telah mengakibatkan sejumlah pelanggaran hukum yang serius.
Tiga terduga pelaku yang ditangkap dikenakan berbagai pasal, termasuk Pasal 120 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, serta Pasal 286 Ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Angkutan Pelayaran tanpa Izin yang mengakibatkan kematian orang.
Polda Aceh juga telah menetapkan delapan terduga pelaku lain sebagai daftar pencarian orang (DPO), yang diharapkan dapat segera ditangkap.
Dari delapan DPO tersebut, satu di antaranya adalah terpidana dalam kasus penyelundupan imigran etnis Rohingya sebelumnya.
Kombes Pol. Ade Harianto menyatakan bahwa pihak kepolisian sedang menyelidiki peran masing-masing individu dalam jaringan penyelundupan ini.
“Kami berharap bisa segera menangkap semua pelaku untuk memastikan keadilan bagi para korban,” jelasnya.
Dalam penyelidikan lebih lanjut, penyidik menemukan adanya keterlibatan individu-individu yang lebih besar dalam jaringan ini, yang mungkin tidak hanya terfokus di Aceh, tetapi juga melibatkan sindikat internasional.
Penyelidikan ini akan terus dilakukan untuk mengungkap semua lapisan dalam jaringan perdagangan orang ini, agar tidak ada lagi imigran yang menjadi korban.
Dalam konteks yang lebih luas, fenomena penyelundupan imigran Rohingya menjadi isu global yang memerlukan perhatian lebih.
Banyak dari mereka yang terpaksa meninggalkan tanah air karena penindasan dan kekerasan.
Setiap tahun, ribuan imigran Rohingya berusaha menyeberang ke negara-negara lain demi mencari perlindungan dan kehidupan yang lebih baik.
Namun, tidak jarang mereka terjebak dalam jaringan perdagangan manusia yang memanfaatkan kerentanan mereka.
Mengingat situasi ini, Polda Aceh menekankan pentingnya kerjasama lintas negara dalam menangani tindak pidana perdagangan orang.
Dengan melibatkan berbagai pihak, diharapkan bisa mengurangi jumlah imigran yang menjadi korban dari praktik ilegal ini.
Keberadaan imigran etnis Rohingya di perairan Aceh Selatan menjadi pengingat akan tantangan besar yang dihadapi dalam upaya melindungi hak asasi manusia dan mengatasi kejahatan transnasional.
Dalam upaya penanganan kasus ini, Polda Aceh juga menjalin koordinasi dengan berbagai lembaga internasional seperti IOM dan UNHCR, serta organisasi non-pemerintah lainnya.
Melalui kolaborasi ini, diharapkan bantuan kemanusiaan dapat segera diberikan kepada imigran yang berada dalam situasi darurat, serta memfasilitasi proses pemulangan mereka ke negara asal dengan cara yang aman dan manusiawi.***
Ikuti berita terkini dari Redaksiku di Google News atau Whatsapp Channels