Udara dingin menyentuh pipi ketika aku turun dari mobil. Aku menarik kerah jaket hingga menutupi seluruh leher, dan menyangkutkan tali ransel ke bahu.
“Ayo!” Melda menepuk punggungku pelan, mengajakku mengikuti Johan dan Fendi yang sudah lebih dulu berjalan beberapa langkah di depan. Sementara itu mobil SUV yang mengantar berbelok dan melaju meninggalkan kami. Dia akan menjemput dua hari lagi.
Tak lama berjalan, sebuah bangunan kecil dari kayu berdiri di ujung jalan. Perbukitan dengan pohon-pohon yang tumbuh rapat membentang di depan. Bangunan besar dua lantai bercat putih ada di sisi lain jalan, hanya beberapa meter jauhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Lis! Ayo, foto!” Johan melambai padaku. Di sebelah kiri dan kanannya berjajar boneka-boneka seukuran manusia, mengenakan berbagai model pakaian. Sebuah boneka lain duduk di bangku lipat yang berseberangan dengan bangunan kayu yang kuduga dulunya merupakan pos keamanan.
Aku mendekat dan berdiri di sebelah Johan. Sesaat sebelum Fendi menekan tombol untuk memotret, Johan memeluk bahuku. Sesaat aku terpaku, tapi terlambat untuk melepaskan diri. Aku mendongak, menatap Johan yang tersenyum lebar dan berbisik, “Jangan marah.”
Aku tidak marah. Aku hanya sedang tidak ingin membuat hubungan apa pun atau dengan siapa pun, setelah pengalaman tidak menyenangkan dengan Edward—mantan pacar yang kasar dan suka menyiksa. Aku memaksa pergi ke lembah di pulau terkecil Jepang ini untuk berlibur dan menghibur diri, bukan untuk berkencan.
Aku keluar dari bangunan kayu itu, dan melihat Melda sedang bicara dengan seorang pria tua yang menunjuk ke arah tertentu.
“Mau jalan-jalan, atau mau ketemu Bu Ayano dulu?” tanya Melda pada Johan dan Fendi yang menyusul di belakangku. Sementara lelaki tua itu pergi dengan langkah tertatih dan punggung membungkuk.
“Kita keliling sebentar, ya.” Johan menengadah sejenak, melihat langit kehitaman di atas sana. “Sebentar lagi gelap.”
Tidak ada yang membantah ajakan Johan. Lagi pula, acara jalan-jalan itu sebenarnya dilakukan untuk pekerjaan Johan dan Fendi sebagai content creator. Melda diajak karena dia bisa bahasa Jepang, sementara aku hanya ingin menjauh sementara dari hiruk pikuk Jakarta.
Sepanjang sore itu kami menyusuri desa kecil yang dipenuhi dengan boneka dalam berbagai wajah dan model pakaian. Dari artikel yang kubaca, boneka-boneka itu mewakili penduduk desa yang sudah meninggal, atau meninggalkan desa itu dan hidup di kota lain. Setalah bertahun-tahun, jumlah boneka yang dibuat jauh lebih banyak dari orang desa yang tersisa.
Sesekali, bulu kudukku meremang ketika menatap boneka-boneka itu yang menatapku balik dengan mata mereka yang terbuat dari kancing berwarna hitam. Tapi, perasaan semacam itu segera terlupakan saat melihat pemandangan alam yang cantik dan tenang di sekitarnya.
Setelah makan malam dan mengobrol sejenak dengan penduduk desa yang nyaris semuanya seumuran dengan nenekku, rombongan kami dibawa ke salah satu rumah kosong yang disediakan untuk turis. Kami diberi kamar terpisah dengan futon–matras untuk tidur, dan selimut.
Karena lelah, aku lekas tertidur. Tapi tidak lama. Saat aku terbangun di tengah malam, keheningan terasa mencekam. Karena merasa dingin, kutarik selimut lebih ke atas. Tetapi, tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu kamarku. Sesaat aku membeku, bertanya-tanya dalam hati siapa yang datang di tengah malam seperti ini.
Apakah mungkin Melda yang penakut itu ingin pindah tidur ke kamarku?
Terdengar ketukan sekali lagi. Aku menarik napas dalam untuk sekadar menenangkan hati. Lalu aku menyibak selimut. Namun, belum sempat aku berdiri saat pintu kayu itu digeser dari luar. Sekali lagi aku terpaku, sebelum perlahan-lahan kuangkat kepala untuk melihat siapa yang datang.
Hatiku mencelus saat menatap sesosok boneka yang berdiri tegap di ambang pintu. Tangan kanan boneka itu menggenggam pisau yang ujungnya mengarah padaku.
Seketika jantungku berdetak cepat. Aku segera menyadari wajah boneka itu serupa dengan wajah Edward. Dia mengenakan baju dan celana yang masih berlumuran darah, sama persis seperti ketika aku menguburkannya di halaman belakang rumah, satu minggu sebelumnya.
Boneka itu berbisik saat berjalan mendekatiku. “Kamu berdosa karena membunuhku. Dan kamu tahu, upah dosa adalah maut, Lisa.”
***
Tentang Penulis
Eunike Hanny, tinggal di Tangerang Selatan. Tulisan yang sudah terbit antara lain, Saat Gota Tersesat (cerita anak, bisa dibaca di Gramedia Digital), Klub Bunuh Diri (Bukuditeras), A Prenup Letter (bisa dibaca di iPusnas), dan skenario film pendek untuk layanan streaming. Penulis bisa dihubungi di IG @hanny1806 / FB Eunike Hanny.