Sudah dua hari ini aku selalu mengalami mimpi buruk. Malam menjadi menakutkan semenjak kejadian itu. Aku tidak pernah merasa tenang sedetik pun sejak saat itu.
Setiap pagi, aku bangun dengan kepala pusing. Semalaman tidurku tidak nyenyak, tidak pernah nyenyak. Kantung mataku mulai menghitam. Aku jadi susah untuk berkonsentrasi. Pekerjaanku berantakan. Bos jadi sering memarahiku karena aku sering telat mengirimkan barang.
Harusnya, tugasku selesai dua jam lalu. Tapi, aku memilih tidur di saat seharusnya aku mengirim paket ke pelanggan. Rasa kantukku sudah tidak bisa ditahan lagi. Kalau nekat mengendarai motor dalam kondisi ini, aku bisa saja mengalami kecelakaan. Nyawaku bisa hilang dalam sekejap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak. Aku belum boleh mati. Istriku sedang hamil enam bulan. Dia butuh aku. Calon bayi di perutnya sudah kami nantikan selama tiga tahun. Aku tidak boleh mati sebelum melihat bayiku lahir.
Rasa rindu menyusup dalam hatiku. Sudah sebulan, aku tidak bertemu istriku. Dia lebih memilih melahirkan di kota kelahirannya.
“Ada Ibu yang bisa bantu aku nanti. Ibu juga lebih pengalaman merawat bayi, Mas,” rengek istriku.
Aku tidak pernah tega mendengar dia merengek. Kuantarkan dia pulang ke rumah orang tuanya seminggu kemudian. Dia melepasku dengan senyum, saat kami berpisah. Setidaknya, aku sedikit tenang saat melihat senyum manisnya itu.
Motor bebek yang kukendarai memasuki jalanan berbatu, jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Lokasinya jauh dari kontrakanku di tengah kota sana. Masih ada hutan di sini. Saat melewati jalan ini, aku seperti berada di dimensi lain. Udara sejuk, nyaris tanpa polusi, menyambutku. Warna hijau dedaunan menyenangkan untuk dipandang. Gerakan daun perlahan menimbulkan semilir angin yang menyejukkan. Sesekali, terdengar suara burung atau serangga dari dalam deretan pohon jati. Saat malam tiba, daerah ini akan gelap gulita. Tidak ada lampu jalan satu pun di sini, sampai satu atau dua kilometer ke depan.
Aku harus segera menyelesaikan tugas. Masih ada dua paket yang harus kuantar. Seharusnya, ini tidak butuh waktu lama. Alamat rumah tujuanku ada di desa pertama setelah hutan ini kulewati. Jaraknya hanya sekitar sepuluh menit lagi. Andai saja jalanan di sini sudah di aspal, aku pasti bisa tiba lebih cepat.
Entah karena apa, aku merasakan hal aneh menggangguku. Suasana mencekam ini mengusikku. Debaran jantungku bahkan perlahan semakin cepat dan tidak beraturan. Memang setiap melewati area ini aku jarang berpapasan dengan orang atau kendaraan lain. Tapi, kali ini berbeda. Kengerian ini sangat menggangguku.
Suasananya berubah suram. Aku tidak mendengar suara burung sama sekali. Sebagai gantinya, telingaku menangkap ocehan manusia. Di kejauhan, mataku menangkap kumpulan orang. Kuhentikan motor saat aku tiba di gerombolan orang-orang panik itu.
“Ada apa, Pak?” Kuberanikan bertanya pada seorang pria tua.
Wajahnya sama paniknya dengan yang lain. Kaus partai yang dikenakannya sudah lusuh. Rambut putihnya berantakan. Dia seperti baru bangun tidur dan buru-buru datang ke sini.
“Ada mayat,” jawabnya sambil menunjuk ke dalam hutan.
“Mayat?” Aku menegaskan kembali apa yang kudengar tadi. Kurang tidur bisa saja membuat pendengaranku tidak berfungsi maksimal.
Pria itu menatapku, memandangku dari atas sampai bawah. “Kurir, ya?” Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah bertanya hal lain.
“Iya. Saya sedang dalam perjalanan antar paket, lihat banyak orang di sini jadi penasaran. Biasanya jalanan ini sepi. Kenapa sampai ada orang berkumpul di sini?” Aku mencoba menjelaskan secara perlahan.
Dia mengangguk. “Saya tadi lagi tidur sore. Capek habis panen jagung. Terus, saya dibangunkan istri saya. Kata istri saya, Pak Dar menemukan mayat. Saya langsung ke sini.”
“Maksudnya mayat hewan?” Aku masih berusaha menepis ada penemuan mayat manusia di hutan ini.
“Sembarangan!” hardik pria itu. “Ya, mayat manusia. Mayat wanita. Kondisinya parah. Dia tidak pakai baju sama sekali, telanjang. Mukanya rusak. Perutnya hancur. Isi perutnya keluar semua.” Pria itu menutup mulut dan memejamkan mata. Dia menahan mual. Dia tidak sanggup menjelaskan lebih rinci kondisi mayat yang ditemukan itu.
Aku yang mendengar ceritanya saja merinding. “Dia dimakan hewan atau dibunuh orang?” tanyaku penasaran.
Pria itu menggeleng. “Pak Lurah sudah telepon polisi. Mereka pasti lebih tahu. Kalau menurut saya, tidak mungkin ini ulah manusia. Tubuhnya saja sampai hancur begitu. Lagian, siapa manusia bejat yang tega membunuh seperti ini?”
“Saya masih bisa lihat mayatnya?” tanyaku ragu, antara penasaran dan takut.
“Lebih baik tidak usah. Saya saja sampai sekarang masih mual,” kata pria itu, lalu mengusap wajahnya. Tangan kirinya berhenti untuk menutupi mulutnya. Dia menatapku. “Ya, sudah. Kalau kamu penasaran, lihat saja. Saya sudah peringatkan.”
Aku bergegas masuk ke dalam hutan ditemani pria itu. Tidak terlalu jauh dari jalanan, di bawah sebuah pohon jati besar, dua orang pria sedang berusaha menutupi mayat itu dengan koran. Aku masih bisa melihat sedikit kondisi mengerikan yang terjadi pada tubuh itu. Benar kata pria tua tadi, pelakunya bukan manusia.
Halaman : 1 2 Selanjutnya