Kami dilarang lebih dekat lagi. Ada beberapa orang yang menjaga agar lokasi ditemukannya mayat itu tidak rusak.
Kepalaku rasanya semakin sakit. Aku harus segera pergi dari sini.
Setelah pamit pada pria tua tadi, kulanjutkan tugasku. Sebentar lagi malam tiba. Aku tidak boleh membuang waktu lagi. Bisa-bisa, bos marah dan memecatku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kasus penemuan mayat itu akhirnya ramai diperbincangkan. Polisi mengalami kesulitan mengungkap identitas wanita itu.
“Ini jenazah wanita. Usianya sekitar dua puluhan tahun. Kami masih menunggu hasil autopsi baru bisa mengatakan ini kasus pembunuhan atau yang lainnya,” jelas Kapolda di salah satu stasiun tv swasta.
Namun, sampai hampir dua bulan, kasus ini belum terpecahkan. Di beberapa media bahkan kasus ini sudah tidak dibahas lagi. Wanita itu tetap menjadi mayat tanpa nama. Dia korban pembunuhan yang belum terungkap.
Mimpi buruk yang selalu datang di setiap malamku pun masih tetap sama. Aku masih susah tidur, malah semakin parah. Sekarang, bayangan isi perut yang terbuai terus memenuhi kepalaku. Mata kosong itu terus menatapku penuh harap. Dia mengharapkan bantuan dariku. Dia menginginkan pertolonganku.
Pekerjaanku masih berantakan, bahkan semakin kacau. Beberapa kali, aku salah mengantarkan paket. Bos sudah memberi peringatan terakhir padaku. Jika aku melakukan kesalahan lagi, dia tidak segan memecatku.
Aku tidak bisa terus seperti ini. Anak dan istriku butuh makan. Aku butuh pekerjaan ini. Tidak mudah mencari pekerjaan hanya dengan ijazah SMA milikku.
“Aku mohon padamu. Jangan ganggu aku lagi,” pintaku. Kutarik rambutku yang mulai panjang. Masalah ini benar-benar membuatku gila.
Aku berdiri dan segera menuju kamar tidur. Rumah ini terasa semakin suram sejak istriku pulang ke rumah orang tuanya. Biasanya, ada dia yang berceloteh manja. Sekarang, aku baru sadar kalau mendengar rengekannya jauh lebih menyenangkan.
Kubuka lemari pakaian. Tumpukan pakaian milikku kusingkirkan. Plastik hitam yang tidak terlalu besar ada di bagian bawah tumpukan pakaianku. Kuraih bungkusan itu. Buru-buru aku membuka dan mengeluarkan isinya.
“Kaus putih, rok biru muda, BH, celana dalam, ponsel, dompet,” sebutku sambil mengingat lagi apa saja isi plastik itu. “Semua ada.”
Demi menuntaskan rasa tenangku, kubuka dompet cokelat itu. Sebuah KTP terpampang di dalamnya. Kuambil KTP itu. Wajah di dalamnya seakan menatapku penuh dendam. Ini wajah yang sama dengan wanita yang selalu datang dalam mimpiku.
“Eci, maafkan aku. Seharusnya kamu tidak perlu berbohong sedang hamil. Seharusnya, kita bisa mengakhiri hubungan ini baik-baik. Kamu bisa pulang ke orang tuamu di pulau seberang, bukan malah mati di tanganku. Tolong jangan hadir di mimpiku lagi. Kita sudah selesai.”
Kubereskan semua barang milik Eci. Aku membawanya ke halaman. Kunyalakan api menggunakan korek yang biasa kupakai menyulut rokok. Api menyala kecil.
Aku menyapu halaman yang sudah banyak daun jambu kering berjatuhan. Tumpukan daun kering membuat api berkobar lebih besar.
“Wah, lagi bersihin rumah, Mas Tian?” Bu Lia menyapa.
“Iya, Bu. Ini sudah berantakan banget halamannya,” sahutku mencoba untuk tetap tenang.
“Rajin banget bapak muda ini. Nanti, istrinya pulang, rumah tetep bersih, ya. Salut saya sama Mas Tian ini. Masih muda, pekerja keras, rajin, sayang istri pula.” Pujian Bu Lia membuatku salah tingkah. Beruntung dia segera pamit untuk pergi arisan.
Sore ini sepi. Tidak banyak orang lewat di depan rumah kontrakanku. Tidak ada yang akan curiga dengan yang kulakukan.
“Kamu akan tetap menjadi wanita tanpa nama, Ci. Tidak ada yang mengenalimu di sini, selain aku. Aku tidak butuh kamu lagi. Istriku sebentar lagi melahirkan. Aku akan jadi bapak,” bisikku sambil menatap kobaran api yang melahap barang terakhir milik Eci.
Sayangnya, Eci tidak pernah membiarkanku tenang. Malam semakin mengerikan bagiku karena Eci tidak hanya muncul dalam mimpi, tapi mengikutiku ke mana pun.
Halaman : 1 2