Yudha Arfandi menjadi sorotan publik setelah terlibat dalam kasus pembunuhan anak Dante.
Ia terlibat dalam tindakan keji yang mengakibatkan meninggalnya Dante, putra dari artis terkenal Tamara Tyasmara.
Baru-baru ini keputusan hakim menjadi sorotan karena dianggap terlalu ringan mengingat brutalnya tindakan yang dilakukan.
Yudha Arfandi Divonis 20 Tahun Penjara
Pada hari Senin, 4 November 2024, Ketua Majelis Hakim Immanuel menyatakan bahwa Yudha Arfandi terbukti melakukan pembunuhan berencana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Yudha Arfandi dengan pidana penjara selama 20 tahun,” ungkap Immanuel di PN Jakarta Timur.
Keputusan ini memicu reaksi beragam di masyarakat, terutama karena JPU sebelumnya menuntut hukuman mati, mengingat tindakan Yudha yang dinilai sangat sadis.
Masa tahanan Yudha akan dikurangi dengan waktu yang sudah dijalaninya sejak proses pemeriksaan hingga persidangan berlangsung. Selain itu, Yudha diperintahkan untuk tetap ditahan di rumah tahanan hingga proses pemindahan ke lembaga pemasyarakatan. “Memerintahkan terdakwa tetap ditahan,” tegas Immanuel.
Kronologi Kasus yang Menjerat Yudha Arfandi
Peristiwa ini bermula pada 27 Januari 2024, ketika Dante dilaporkan meninggal dunia setelah tenggelam di kolam renang di kawasan Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur.
JPU menuduh Yudha telah merencanakan pembunuhan ini dengan sengaja.
Pada sidang yang digelar pada 23 September 2024, jaksa menyatakan bahwa Yudha bersalah atas perbuatan yang dianggap melanggar hukum, serta menuntut hukuman mati karena tindakan yang dilakukan sangat tidak manusiawi.
Selama persidangan, JPU menyoroti berbagai fakta yang menunjukkan bahwa tindakan Yudha bukanlah kecelakaan atau kelalaian, melainkan tindakan yang terencana.
Yudha dituduh melakukan pembunuhan dengan cara yang sangat brutal, di mana ia tidak hanya mengabaikan keselamatan Dante, tetapi juga berupaya menghindari tanggung jawab atas perbuatannya.
Hal ini terlihat dari sikapnya yang tidak mengakui kesalahan selama persidangan.
Dalam proses persidangan, Yudha sempat mengajukan nota pembelaan. Ia berargumentasi bahwa tindakannya merupakan bagian dari metode latihan pernapasan.
Namun, argumen ini dibantah oleh JPU, yang menyatakan bahwa tindakan membenamkan anak lebih dari 10 detik bukanlah latihan yang tepat untuk anak kecil.
“Menurut pendapat ahli, jika membenamkan seorang anak lebih dari 10 detik, itu bukan porsi latihan pernapasan bagi anak kecil,” kata JPU.
Jaksa Penuntut Umum menegaskan bahwa Yudha Arfandi tidak hanya melakukan kelalaian, tetapi juga melakukan tindakan dengan sengaja yang menyebabkan kematian.
JPU meminta majelis hakim untuk menolak pembelaan Yudha dan menekankan bahwa tindakannya sangat merugikan kehidupan anak.
“Kami memohon kepada majelis hakim untuk menyatakan menolak atau mengenyampingkan pembelaan dari tim penasihat hukum terdakwa,” tegas Jaksa.
JPU juga menyampaikan beberapa hal yang memberatkan Yudha, termasuk fakta bahwa ia tidak mengakui perbuatan yang didakwakan dan berbelit-belit dalam persidangan.
Sifat tidak kooperatif Yudha dianggap sebagai salah satu faktor yang membuat perbuatannya semakin berat di mata hukum.
Publik pun sangat menyoroti sikap Yudha selama persidangan, yang dianggap menunjukkan kurangnya penyesalan dan empati terhadap keluarga Dante.
Reaksi publik terhadap vonis ini cukup beragam. Banyak yang mengecam keputusan hakim yang dianggap terlalu ringan, terutama karena memperhatikan brutalitas tindakan yang dilakukan terhadap seorang anak.
Banyak suara di media sosial yang meminta keadilan lebih lanjut dan mendesak pihak berwenang untuk memperhatikan kasus-kasus serupa dengan lebih serius.
Kasus ini menyoroti perlunya sistem hukum yang lebih tegas dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak.
Masyarakat berharap agar keadilan dapat ditegakkan, dan peristiwa serupa tidak terulang di masa depan.
Keputusan hakim untuk menjatuhkan vonis 20 tahun penjara bagi Yudha Arfandi menyisakan banyak pertanyaan tentang keadilan dalam kasus pembunuhan anak.
Keluarga Dante, yang telah kehilangan anak mereka secara tragis, tentu mengharapkan hukuman yang lebih berat bagi pelaku.
Sementara itu, pengacara Yudha Arfandi mengisyaratkan kemungkinan untuk mengajukan banding.
Dengan demikian, kasus ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat dan sistem hukum di Indonesia dalam melindungi anak-anak dari tindakan kekerasan.
Kasus Yudha Arfandi dan vonisnya yang relatif ringan menyoroti perlunya perhatian lebih terhadap perlindungan anak dan penegakan hukum yang adil.
Harapannya, keputusan ini akan mendorong diskusi lebih lanjut tentang bagaimana mencegah kekerasan terhadap anak dan memastikan keadilan bagi korban serta keluarga mereka.
Masyarakat kini lebih peka terhadap isu-isu kekerasan terhadap anak, dan banyak yang berusaha agar suara mereka didengar demi terciptanya perubahan dalam sistem hukum.***
Ikuti berita terkini dari Redaksiku di Google News atau Whatsapp Channels